Kaidah Seputar Riba - Ustadz Ammi Nur Baits - Catatan Lebih Detail
Kajian Umum Mengenai Kaidah Seputar Riba oleh
Ust. Ammi Nur Baits, dilaksanakan tanggal 12 September 2015 di Masjid Nurul
Iman, Blok M Square, Jakarta.
Pengajian ini mengkaji beberapa kaidah masalah
riba: Mempelajari lebih detail apa itu riba?
Menit 02:10
Kenapa harus belajar dengan detail ?
Ungkapan Ali Bin Abi Thalib:
Ungkapan Ali Bin Abi Thalib:
- · Ilmu bagi manusia ibarat pelindung baginya.
- · Ilmu itu lebih berharga dari pada harta. Ilmu yang membimbing mu, ilmu yang menjagamu.
- · Perbedaan Ilmu dan harta yaitu Ilmu menjagamu, sedangkan harta kita yang jaga.
Para ulama : Ilmu itu punya potensi untuk
membisikkan pemiliknya agar diamalkan. Nasihat lainnya bahwa Ilmu itu yang menentukan, sedangkan harta yang dikendalikan.
Menit 05:00
Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu telah mengingatkan:
“Ikatan islam itu
terlepas satu demi satu, sebabnya adalah munculnya generasi di tengah kaum
muslimin yang mereka tidak memahami hakikat jahiliyah.”
Menit 07:30
Jauh-jauh hari telah diingatkan oleh Ali bin
Abi Thalib dan Umar bin Khattab tentang pentingnya memahami hakikat riba dan
rincian riba. Satu hal yang perlu kita catat, bahwa saat kita
belajar sesuatu maka disarankan sebisa mungkin agar dikaji secara detail. Kalau tidak detail atau tidak rinci maka tidak
ada beda antara kelompok ahlussunnah dan kelompok yang bukan ahlussunnah.
Semua orang menamakan dirinya ahli Tauhid, tapi
disaat yang sama banyak kelompok yang melakukan kesyirikan.
Ketika orang tidak memahami tauhid dengan
detail, maka dia tidak bisa mewujudkan tauhid 100%.
Bahkan terkadang nama tauhid ini dijadikan
alat untuk menarik perhatian orang lain karena mereka masih muslim, padahal
hakikatnya nama itu disimpangkan. Sebagai contoh:
Salah satu doktrin muktajilah ialah menegakkan
tauhid. Tauhid menurut muktajilah yaitu nafwus sifat, bahwa Allah Swt
wajib diyakini tidak mempunyai sifat.
Allah As
Sami’= Dzat yang Maha Mendengar
Tapi kata Muktajilah kita tidak boleh meyakini
Allah mendengar,
Allah Al
Basir = Dzat yang Maha Melihat
Tapi kata Muktajilah kita tidak boleh meyakini
Allah melihat.
Itu tauhid menurut Muktajilah. Kalau kita meyakini Allah mendengar Allah
melihat, maka kita termasuk orang musrik, menurut Muktajilah.
Demikian juga Asy ‘Ariyah, Mereka koar-koar
tegakkan tauhid. Tapi Tauhid menurut Asy ‘ariyah adalah menetapkan 20 sifat dan
mengingkari semua sifat yang lainnya.
Jadi kita dan mereka sama-sama mengklaim
tegakkan tauhid dan anti syirik namun mengingat rincian nya berbeda itulah yang
membedakan antara kita ahli sunnah dan ahli bidah.
Menit 09:55
- Imam Al Barbahari Rohimahullah juga
mengingatkan tentang hal tersebut (simak lebih lengkap pada rekaman).
- Orang yang mengklaim anti riba tapi dalam
prakteknya belum tentu sudah terbebas riba.
- Umar bin Khattab saat jadi khalifah pernah
mengusir pedagang di pasar Madinah yang belum paham ilmu syar’i cara berdagang.
- Oleh karena itu, maka kita perlu mempelajari
rincian tentang riba, agar kita mengetahui batas-batas lebih detail lagi mana
yang disebut riba mana yang bukan riba. Sehingga kita lebih aman lagi dalam
melakukan transaksi.
Menit 14:00
Sebelum mengetahui kaidah-kaidah riba, perlebih
dahulu kita kenali jenis-jenis riba secara umum. Yaitu:
1. Riba Fadhl.
2. Riba Nasiah
Apa itu Riba Fadhl ?
Riba Fadhl intinya adalah adanya selisih antara
uang atau harta yang diberikan dengan harta yang diterima. Namun bukan dalam
bentuk jual beli selain benda ribawi.
Kemudian Riba nasiah. berasal dari kata nasa a
yang artinya tertunda. (Firman Allah lihat kajiannya). Riba ini terjadi ketika ada
penundaan. dan ini hanya ada pada Riba Buyu’ atau jual beli.
Kalau Riba Fadhl ada pada riba utang piutang
dan juga memungkinkan ada pada riba jual beli. Tapi kalau riba nasiah hanya ada
pada riba jual beli.
Menit 17:00
Kajian kali ini akan terfokus pada pembahasan
Riba Fadhl.
Riba fadhl intinya adanya selisih antara harta
yang diterima dengan harta yang diberikan. Baik selisih ketika hutang piutang
(bayaran yang diberikan lebih besar daripada hutang yang diterima) atau selisih
barang ribawi yang diserah terimakan antara penjual dan pembeli.
Menit 17:45
Barang Ribawi ada 6 : emas, perak, mata uang,
gandum (halus atau kasar), kurma , zabit, dan garam. Zabit itu kismis (anggur
kering).
Kalau kita perhatikan yang 4 dibelakang itu
bahan makanan pokok yang sifatnya bisa tahan lama. Kalau yang 2 pertama adalah
alat tukar. Kalau ada orang nukar emas dengan emas tapi
kualitasnya berbeda, yang satu 20 karat, yang satu lagi 18 karat. Tentu saja yang 20 karat tidak mau beratnya
sama, dan inginnya yang 18 karat beratnya dinaikkan.
Ketika ini ditukar, ada selisih misalny beberapa
gram. Nah yang beberapa gram itu adalah Riba Fadhl.
Menit 19:25
Ada kurma Ajwa misal seharga 60.000 sekilo, dan
ada kurma nagol sekilo 60.000. Tentu saja ketika ditukar yang punya kurma ajwa
tidak mau kalau sama. Akhirnya kurma nagol 2 kg dan ajwa nya 1 kg. Ketika ditukar, ini secara harga sama tapi
secara berat berbeda. Selisih tersebut termasuk riba fadhl. Sehingga riba fadhl bisa berlaku pada riba
utang piutang dan riba jual beli.
Menit 20:25
KAIDAH PERTAMA :
Prinsipnya , Semua
utang yang disitu menghasilkan suatu manfaat atau suatu keuntungan maka
keuntungan itu sama dengan riba.
Keterangan ini disimpulkan dari keterangan
Fadhalah bin Ubaid Radiyallahu anhu.
Menit 24:07
Kita akan lihat beberapa kasus terkait hal
diatas:
Menit 24:14
KASUS PERTAMA:
Kasus tentang Riba Jahiliyah – adalah riba yang
dilarang Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan al-quran turun (yang
mengharamkan riba) itu dalam rangka mengharamkan riba jahiliyah.
Kepentingannya untuk kita ketahui adalah kita
akan bisa membandingkan mana yang lebih parah riba konvensional (Riba di jaman
kita) ataukah riba yang diterapkan di masa silam.
Dulu Allah mengharamkan riba secara bertahap.
Riba yang pertama kali Rasulullah saw hapuskan
adalah riba pamannya sendiri yaitu Abbas bin Abdul Muthalib pada saat haji wada.
Menit 25:41
Bagaimana riba jahiliyah ?
Lihat keteranngan dari Zaid bin Aslam (Ulama
Tabi’in) muridnya Ibnu Umar, Anas bin Malik, Ibnu Masud, dan lain-lain :
“Bentuk riba jahiliyah
adalah si A berhutung kepada si B sampai batas waktu tertentu, ketika datang
jatuh tempo, maka si B datang ke si A (kreditur datang kepada debitur) kemudian
nagih hutang, “lunasi utang mu
atau kita adakan transaksi riba?” Apabila
ia lunasi waktu itu, maka ia ambil uang yang sama persis dengan waktu ia
hutangi. dan jika tidak maka ditambahkan kewajiban hutangnya dan ditunda
pembayaran hutangnya”.
Terdapat di Kitab Muwato’ Karya imam Malik, dan
Imam Malik adalah murid Zaid bin Aslam, sehingga beliau termasuk Tabiut Tabi’in.
Jadi riba jahiliyah dimulai ketika jatuh tempo
pertama bukan pada saat pertama kali melakukan transaksi hutang piutang.
Menit 28:00
Allah Swt berfirman “Jangan kamu makan riba
berlipat ganda”.
Ayat tersebut menjelaskan dari sifat riba
jahiliyah yang tidak ada batas waktu, bila tidak mampu bayar terus bertambah.
(pembahasan lebih lanjut silahkan simak kajian lengkapnya).
Menit 29:35
Subhat terhadap riba bank bahwa riba bank itu
terukur bukan yang berlipat ganda, bunga nya sangat kecil. (bantahan terhadap
subhat tersebut simak kajian lengkapnya).
Menit 31:15
Contoh riba jahiliyah adalah kartu kredit.
Pada saat anda membuat kartu kredit, dibatasi
jatuh tempo, baru kena bunga kalau pada saat jatuh tempo tidak bisa dibayar.
Orang beralasan “kan saya tidak ngasih riba”.
Betul, ketika pertama transaksi anda tidak
ngasih riba tapi diawal anda sudah sepakat, Kalau sudah jatuh tempo “Lunasi sekarang ataukah di ribakan”
Menit 31:50
KASUS KEDUA:
Menaikkan Harga Kredit Setelah Jatuh Tempo
Menaikkan Harga Kredit Setelah Jatuh Tempo
ini adalah bentuk riba jahiliyah yang kedua yang diceritakan oleh Imam Qatadah Ibnu Di’amah seorang ulama tabi’in muridnya Anas bin Malik. Beliau pernah mengatakan:
“Sesungguhnya bentuk
riba jahiliyah ada orang yang menjual barang secara kredit sampai batas
tertentu ketika datang jatuh tempo, sementara yang beli tidak punya uang untuk
melunasi, Maka harganya nambah dan waktu pelunasannya ditunda”
Keterangan pertama (Zaid bin Aslam) mengenai
hutang pihutang
Keterangan Kedua (Imam Qatadah) mengenai jual
beli kredit.
Menit 33:43
KASUS KETIGA
Tentang masalah bunga bank.
Tentang masalah bunga bank.
Kita akan mengukur apakah bunga bank itu
termasuk riba ataukah tidak.
Kalau diperhatikan riba bank itu lebih parah
dibandingkan dengan riba jahiliyah karena dia dihitung sejak awal transaksi
hutang. sedangkan riba jahiliyah pada saat awal transaksi belum dihitung, baru
dihitung ketika sudah datang jatuh tempo pertama.
Ada orang yang menanyakan mana di dalam
al-quran atau hadis yang mengatakan bunga bank itu haram? pertanyaan yang sama
seperti, mana yang mengatakan rokok itu haram?
Teks bank dan rokok di dalam al-quran dan hadis
tidak ada, karena memang belum ada pada zaman nabi.
Oleh karena itu ketika kita mengukur keabsahan
sebuah transaksi kontemporer, maka yang perlu dilihat adalah bagaimana fatwa
para ulama/fatwa orang-orang yang ahli dibidangnya yang menjumpai peristiwa ini.
Menit 35:01
Terdapat banyak muktamar diantaranya muktamar Majma’ al buwus al islami yang diadakan di Kairo. kemudian
beberapa muktamar lainnya hingga muktamar tertinggi di Mekah yang dihadiri
lebih dari 300 ulama besar. Menetapkan bahwa “Semua bunga Bank adalah haram”.
Kenapa haram? karena itu adalah riba.
Kesimpulan tersebut terdapat di buku Ahkam Al Mal haram : Hukum tentang Harta Haram.
Menit 35:40
Kesimpulannya Bunga Bank adalah riba.
Tidak ada alasan untuk membela bahwa bunga bank
bukan termasuk riba. Alasan yang mengatakan bahwa yang dilarang adalah adh'afan mudha'afah (yang
berlipat-lipat) itu tidak
benar karena adh'afan
mudha'afah bukan maksudnya
dilipatkan dua kali sekaligus ketika pembayaran hutang tetapi maksudnya adalah
ketika orang tidak bisa membayar pada saat jatuh tempo dan itu tidak ada batas,
bisa dipastikan nanti riba yang ia dapatkah adalah berlipat-lipat.
Menit 36:32
Perbedaan riba jahiliyah dengan riba
kontemporer:
Jaman sekarang kalau ada orang berhutang ke
bank, terus ia mati, biasanya aturannya diputihkan kecuali yang bunuh diri.
kalau jaman jahiliyah tidak, hutang tersebut
turun ke ahli warisnya. ahli warisnya tidak bisa? maka bisa jadi budak.
Menit 37:15
Namun yang menjadi titik pembahasan adalah
selama disitu ada penambahan manfaat, maka statusnya adalah riba, baik sedikit
maupun banyak.
Menit 37:24
KASUS KEEMPAT
Memanfaatkan Riba untuk Pajak dan Biaya administrasi.
Memanfaatkan Riba untuk Pajak dan Biaya administrasi.
ini banyak menjadikan pertanyaan, apa hukum
menggunakan uang riba untuk membayar biaya adminstrasi bank (misal 10 ribu).
Jawabannya:
Bahwa semua kewajiban harta yang menjadi
tanggung jawab kita, tidak boleh ditutupi dari harta haram.
Contoh:
Nafkah-Kita memberikan nafkah kepada keluarga.
Boleh tidak memberikan nafkah dengan uang haram? jawabannya : kita berdosa,
karena uang haram ketika ditutupi untuk menutupi nafkah berarti kita mengambil
manfaat dari harta haram tadi, mesikpun uang haram ini boleh kita berikan
kepada orang lain sebagai bentuk tobat kita dari harta haram. “membebaskan diri
dari harta haram”. Tapi kalau harta haram itu kita berikan kepada orang yang
wajib kita nafkahi hukumnya terlarang. karena ada bagian dari harta haram itu
yang manfaatnya kembali kepada kita.
Menit 39:25
Kita sepakat bahwa pajak yang ditetapkan oleh
negara (meskipun itu ditetapkan secara sepihak) atau biaya administrasi bank
atas fasilitas yang kita miliki, ini adalah tanggung jawab kita yang harus kita
bayarkan.
Apabila kita gunakan uang riba / uang bunga
yang kita terima untuk nutupi itu semua, berarti konsekuensi nya adalah ada
bagian riba yang manfaatnya kembali kepada kita / pemilik rekening.
Lihat kaidah dari Fadhalah bin Ubaid “Kullu
qardhin jarra Manfa'atan fahuwa riba : Sumua utang piutang yang memberikan
manfaat maka statusnya riba”,
Menit 40:35
Untuk mempertegas lagi keterangan pada Mahkam
al Haram:
“Pajak dan biaya
administrasi adalah beban nasabah, jika diambilkan dari harta riba berarti ada
manfaat riba yang kembali kepadanya”
Menit 41:00
Hutang yang menghasilkan manfaat, statusnya
haram.
Nabung di Bank, sisi hutang nya dari mana?
Pada saat anda menjadi nasabah bank, kemudian
naruh uang di bank, itu hakikatnya ngutangi bank.
Kita kan tidak nitip duit? kalau nitip duit,
kita nabung di bank kemudian duit tersebut disimpan di brankas. tapi yang
terjadi nasib uang itu diputar.
Uang itu tidak didiamkan tetapi dipakai oleh
bank, sehingga hakikatnya pada saat kita menaruh uang di bank, transaksi yang
terjadi sejatinya adalah kita ngutangi bank, maka apa yang diberikan oleh bank
kepada kita itu adalah riba.
Menit 42:10
KASUS KELIMA
Tentang Pemanfaatan Barang Gadai.
Tentang Pemanfaatan Barang Gadai.
Keterangan dari Anas bin Malik Radiyallahu’anhu
yang sedang menjelaskan bahwa apapun manfaat atau keuntungan dari utang piutang
itu hukumnya riba baik manfaat itu berupa harta maupun hanya sebatas jasa.
contoh:
Saya mau ngutangi kamu, tapi syaratnya
dipijatin.
Saya mau ngutangi kamu, tapi syaratnya gendong
dulu.
Pijat/gendong itu kan ada nilainya, maka
termasuk riba.
Anas bin Malik, “ Kalau kalian menghutangi
orang lain, kemudian yang ngutang itu memberikan hadiah (dalam bentuk harta)
atau ngasih fasilitas boncengan gratis di tunggangannya, Maka tidak boleh Ia
terima kecuali hadiah atau jasa semacam ini sudah menjadi kebiasaannya sebelum
terjadi hutang piutang”.
Menit 45:45
Perhatikan, Disini saling ridho ataukah terpaksa?,
jawabnya saling ridho atas kerelaan pribadi dari yang berhutang.
Contoh lain: ada orang berhutang kepada si A, “
Saya hutang 5 juta, ini motor saya sebagai jaminan nanti silahkan di pakai,
selama hutang belum lunas silakan dipakai”
Ini sama memberikan jasa atas hutang yang
diberikan.
Atau contoh lain untuk gadai sawah:
Misal petani mempersilahkan tanahnya digarap
oleh si pemberi hutang sampai hutang petani dapat dibayar lunas.
Memanfaatkan barang gadai itu statusnya riba
meskipun atas kerelaan yang berhutang.
Menit 48:43
Ketika kita dititipi barang gadai, apa yang
harus kita lakukan? apakah barangnya ditolak?
Jawab: Menerima barang gadai atau penjamin itu
diperbolehkan.
Selanjutnya kalau kita membawa barang gadai
tersebut, otomatis kita butuh biaya perawatan, dari mana biaya perawatan
tersebut? bolehkan kita minta kepada pemilik barang?
Jawabannya adalah barang gadai itu belum
berpindah status kepemilikan, masih dimiliki oleh pemilik pertama. Karena itu,
semua biaya nafkah atas barang ini adalah tanggungan pemilik pertama.
jadi misal barang gadai itu butuh dikasih makan, atau butuh biaya perawatan.
Biaya tersebut boleh minta kepada pemilik pertama, mintanya bisa di depan atau
di belakang.
Di masa Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam para sahabat
menggadaikan kambing ada yang menggadaikan onta, yang itu butuh biaya perawatan
dan sebagai gantinya Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam mengizinkan mereka
(orang-orang yang menerima barang gadai tadi) untuk memerah susunya atau
menjadikannya sebagai hewan tunggangan.
jadi barang gadai tersebut boleh dipergunakan,
tapi pemanfaatan ini hanya sebatas sebagai ganti biaya perawatan.
Inilah yang difatwakan oleh DSN MUI ( Dewan
Syariah Nasional MUI) terkait masalah gadai syari’ah.
Jadi gadai syari’ah boleh mengambil biaya dari
transaksi itu dengan syarat biaya yang diambil adalah 100% biaya real untuk
perawatan barang gadai.
Kalau kita gunakan kontek bank pada saat kita
gadai emas, maka biaya real nya jatuh pada nilai sewa deposit box (kotak yang
dipakai untuk mengamankan barang), itu ada nilai sewanya tergantung dari volume
barang yang ditaruh disitu.
Menit 52:16
Diperbolehkan pada saat orang itu melakukan
transaksi gadai lalu yang berhutang tidak bisa membayar hutang.
Fungsi barang gadai itu dua:
1. Untuk jaminan kepercayaan atau
kejujuran orang yang berhutang. (biasanya nilai barang yang digadai lebih
tinggi dibandingkan nilai hutang)
2. Pada saat peminjam tidak mampu
melunasi hutangnya maka barang gadai ini boleh dijual / dilelang secara sepihak
oleh kreditor (orang yang memberikan hutang) kemudian nanti nilai hasil
penjualannya diambil untuk menutupi hutang dan sisanya dikembalikan kepada
pemilik.
Nah yang jadi masalah nya begini:
Pada saat barang itu dijual secara sepihak ,
bukankah disitu ada unsur mengambil keuntungan? padahal semua unsur mengambil
keuntungan dari transaksi utang piutang itu terlarang.
Jawabannya : Disitu tidak ada unsur mengambil
keuntungan namun status barang yang digadaikan, oleh para ulama disebut sebagai
barang yang ahliyatun naqishah (barang status kepemilikannya berkurang). Barang
nya masih milik yang berhutang tapi tidak sempurna, barang berada di tangan
orang lain.
Maka termasuk transaksi yang tidak benar, kalau
barang digadaikan tapi masih di pakai atau disimpan oleh orang yang berhutang.
“Barang gadai
dimanfaatkan oleh orang yang ngutangi statusnya riba, tetapi dimanfaatkan oleh
orang yang berhutang statusnya tidak lagi jadi barang gadai”.
Menit 56:30
Dalil lain mengenai haramnya mengambil manfaat
dari hutang meskipun hanya dalam bentuk jasa adalah pernyataan dari Abdullah
bin Sallam:
“Kalau kamu
menghutangi orang lain kemudian orang yang dihutangi memberikan fasilitas
membawakan jerami/gandum/membawakan makanan ternak, Tawaran tersebut Jangan
diterima, Karena itu itu statusnya riba”
Menit 57:19
Lanjutkan ke:
KAIDAH KE DUA
HADIAH SEBELUM HUTANG
LUNAS.
Kalau hadiah setelah hutang lunas boleh
diterima atau tidak?
jawabannya: Ada yang boleh ada yang tidak,
ulama berbeda pendapat.
Memberikan kelebihan pada saat pelunas hutang
diperbolehkan dengan syarat:
1. Tidak ada kesepakatan di depan
2. Bukan jadi tradisi masyarakat, setiap bayar
hutang ngasih kelebihan.
Yang akan kita bahas, adalah bagaimana kalau
hadiah itu diberikan sebelum hutang lunas? termasuk ketika pada saat momen
perayaan, misal perayaan idul fitri atau keadaan orang saling memberikan hadiah.
Maka ada dua pilihan:
Pilihan pertama: Ditolak
Pilihan yang kedua: Boleh diterima tetapi
dihitung sebagai bagian dari pelunasan.
Kaidah ini berdasarkan keterangan dari Ibnu
Umar Radhiyallahu’anhuma ketika ada seseorang yang bertanya kepada beliau,”
saya menghutangi seseorang yang sebelumnya tidak saya kenal, lalu dia
memberikan hadiah yang banyak kepadaku, apa yang harus aku lakukan?”. Kata Ibnu
Umar, “ Kembalikan hadiah itu, atau hitung hadiah itu sebagai bagian dari
pelunasan hutang”.
Ini sama halnya pemberian hadiah kepada pegawai
atau PNS dari rakyat. Itu statusnya gratifikasi, meskipun itu diberikan pada
saat lebaran.
Karena hadiah karena posisis statusnya
ghulul atau korupsi.
Keterangan yang lain dari Salim Ibnu Abil Ja’ad
(simak rekaman kajiannya)
Menit 01:03:02
Jaman dulu 1 dinar sama dengan 10 dirham, kalau
sekarang perbandingannya terlalu jauh.
Menit 01:04:15
KAIDAH YANG KE TIGA
RIBA ITU TERJADI PADA
SEMUA MATA UANG
Kenapa ini perlu kita bahas?
Ada sebagian orang yang menyangka bahwa agar
kita tidak lagi hidup dg penuh riba maka kembali kepada dinar dan dirham. Dia menganggap bahwa sumber riba karena kita
menggunakan uang kartal, uang kertas atau uang koin. Andaikan kembali kepada
emas dan perak maka kita tidak akan terkena riba. Salah satu alasannya karena
nilai emas dan perak itu lebih stabil.
Tetapi Kalau emas betul, kalau perak berbeda.
Dulu stabil, 1 dinar sama dengan 10 dirham,
tapi kemudian emas selalu naik melejit, perak selalu turun. Sehingga selisih
dinar dengan dirham sekarang tidak imbang tidak seperti dulu.
Kita perlu pahami terlebih dahulu bahwa : Riba
itu sistem bukan masalah mata uang.
Apa buktinya?
Kita bisa lihat, Allah subhanahu wa ta’ala
menurunkan ayat tentang riba kepada masyarakat yang mereka menggunakan dinar
dan dirham sebagi mata uang nya.
Jadi walaupun orang menggunakan dinar dan
dirham, mungkinkah terjadi transaksi riba?
Jawab nya sangat mungkin dan realita
menunjukkan demikian.
orang-orang jahiliyah menggunakan dinar dan
dirham tapi mereka juga melakukan transaksi riba.
Ada satu lagi yang perlu kita catat:
Banyak orang beranggapan, mata uang islami itu
dinar dan dirham. Berarti kalau kertas itu tidak islami kata mereka.
Maka jawabannya:
Dinar dan dirham itu sudah ada sebelum islam
datang. Orang Jahiliyah, orang yahudi, orang musyrikin, orang persi mereka
menggunakan mata uang dinar dan dirham.
Nabi shallallahu’alaihi wasallam diutus, Beliau
tidak membuat mata uang baru, yang beliau gunakan adalah menggunakan mata uang
di masa silam. Cuma demikian, sistemnya yang dibatasi, mana yang boleh mana
yang tidak diperbolehkan.
Karena itu yang menjadi titik riba bukan
masalah mat uang nya tapi sistemnya.
Di jaman Umar bin Khattab radiyallahu’anhu beliau pernah membuat rencana mata
uang dari kulit onta, tetapi gagal karena di protes oleh sebagian orang yang
alasannya kalau diberlakukan maka unta-unta akan di babat habis oleh
orang-orang yang membutuhkan duit, jadinya unta malah kehabisan.
Dan itu menjadi asbabul wurud mengapa himar
keledai jinak itu tidak boleh dimakan dagingnya. Pada saat peristiwa Khaibar,
para shahabat banyak sekali menyembelih himar dipakai untuk makan pasukan,
sehingga ada sebagian sahabat yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam “ Ya Rasulullah banyak keledai yang dibabat habis, nanti kita pulang
mau naik apa” Sahabat tersebut mengadu ke Rasulllah sebanyak 3 kali. Setelah
aduan yang ketiga baru Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengumumkan bahwa
Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk makan daging himar jinak.
Menit 01:12:45
Boleh saja menggunakan dinar dan dirham, tapi
nilai konversinya masih terlalu tinggi, karena disekitar kita masih banyak
nilai harganya yang masih jauh dibawah dinar dan dirham.
Beda di masa silam, dimana barang yang kecil
bisa nilainya 1 dirham sehingga mungkin menurut kita ini terlalu mahal tapi
bagi orang di masa silam itu lumrah.
Menit 01:13:10
KAIDAH KE EMPAT
TENTANG MASALAH
INFLASI, APAKAH LAYAK UNTUK DIPERHITUNGKAN DALAM UTANG PIUTANG ATAUKAH TIDAK
Saya tegaskan disini bahwa inflasi tidak
diperhitungkan di dalam utang piutang.
Banyak orang beranggapan dan ini menjadi salah
satu alasan orang yang masih membela riba bahwa nilai bunga yang ditetapkan
oleh bank itu sebagai ganti dari nilai waktu uang. karena saat kita pinjamkan
uang yang terjadi adalah uang kita tertunda pemanfaatan nya karena dimanfaatkan
oleh orang lain. Sementara semakin lama uang itu tertunda maka nilai
uangnya semakin turun. Oleh karena itu ditambah pakai bunga.
Karena itu bunga disini terukur, bukan
tambahan. Justru itu nilai waktu uang.
Kalau itu kembali ke nilai waktu uang, kita
akan melihat:
Riba di jaman Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
telah diharamkan, dan itu riba hutang piutang (riba jahiliyah). Padahal di
jaman nabi pernah terjadi inflasi.
Karena itu sekalipun terjadi inflasi,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak membuat ketentuan lain bahwa
untuk kasus inflasi maka siapapun yang berhutan wajib ngasih tambahan.
Rasulullah tidak demikian.
Artinya riba tetap riba, tambahan dalam utang
piutang tetap statusnya riba, sekalipun terjadi inflasi.
Menit 01:15:20
Lihat keterangan Anas bin Malik yang
menunjukkan bawa inflasi pernah terjadi di masa Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam.
Menit 01:15:50
Mengapa para sahabat minta kepada Nabi agar
menurunkan harga?
jawab: karena beliau adalah pemimpin negara,
dan pemimpin negara memiliki wewenang untuk mengendalikan harga di tengah
masyarakat.
Menit 01:16:02
Ada 2 pendapat mengenai hal tersebut (boleh
mengendalikan harga di tengah masyarakat atau tidak).
Pendapat yang benar adalah pendapat pertengahan
bahwa pemimpin negara memiliki hak untuk melakukan tas’ir (mengendalikan harga)
khusus untuk barang yang menjadi kebutuhan hajat/pokok semua masyarakat.
Seperti harga beras, sembako, atau BBM.
Menit 01:18:10
Sabda Rasululullah shallallahu’alaihi wasallam
: “Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia-lah yang menetapkan harga, dia yang
menyempitkan rezeki yang melapangkan rizki dan Dia yang memberikan rezeki
kepada umat manusia. Dan saya ingin ketika saya bertemu Allah tidak ada satupun
diantara kalian yang menuntutku gara-gara aku pernah mendhalimi mereka baik
dalam masalah harta maupun dalam masalah darah”.
Menit 01:20:00
Pernah terjadi inflasi di masa Umar bin
Khattab, saat islam mampu menaklukkan Persia.
Harga-harga naik, Nasehat Umar : Gak usah
belanja kalau memang tidak mampu beli (turunkan nilai konsumtif).
Menit 01:21:56
Solusi ketika terjadi inflasi yang diberikan
Rasululla shallallahu’alaihi wasallam dan Umar bin Khattab :
Rasulullah : Beliau sampaikan konsep masalah
rezeki dalam Islam, bahwa rezeki yang kita miliki itu murni dari Allah
Subhanahu Wata’ala. Inflasi yang terjadi hakikatnya tidak mengurangi jatah
rezeki kita.
Menit 01:27:16
Umar bin Khattab: Agar menurunkan nilai
konsumtif masyarakat karena itu akan semakin menekan angka inflasi agar tidak
semakin meningkat.
Menit 01:27:36
Ada Pengecualian:
Ketika terjadi nilai mata uang yang sudah
hilang atau uang itu tidak lagi berlaku, Maka bagaimana cara pelunasan
hutangnya ?
Contoh: di tahun 80-an ada orang yang hutang
100.000 , kira-kira di tahun tersebut membeli tanah banyak. Tapi kalau dimasa
kita, 100.000 sepatu saja tidak dapat.
Maka terjadi nilai yang jauh berkurang antara
tahun itu dan sekarang.
atau jika terjadi mata uang yang sudah tidak
berlaku lagi.
Misalnya: Ada orang hutang golden (mata uang
Belanda yang dulu), terus sekarang tidak berlaku.
Terus bagaimana cara mengukurnya?
Ada fatwa yang kita ambilkan dari keterangan Abu Sa’id al-Jazairi. Beliau
termasuk muridnya Al-Albani, Imam Ibnu Baz, Imam Ibnu Utsaimin. Beliau
memfatwakan bahwa pada saat terjadi selisih yang sangat jauh antara mata uang
pada saat ia memberikan utang dan nilai uang disaat pelunasan maka pelunasannya
distandarkan pakai emas di masa silam.
“Orang yang berhutang
wajib membayar hutang semenjak dia berhutang. Dia memiliki tanggung jawab untuk
mengembalikan senilai besaran harta yang ia hutang. Namun apabila nilai mata
uang itu banyak berubah (terjadi penurunan yang drastis) atau sudah tidak lagi dipakai,
maka kewajiban orang yg berhutang, dia mengembalikan hutangnya dengan nilai
emas di masa silam”.
Syaikh Abdullah bin Mar’I, saat daulah di
Yogya, sekitar tahun 2004 atau 2003, beliau bercerita bahwa di Yaman pernah
terjadi seperti itu (ada mata uang yang tidak diberlakukan).
Menit 01:35:25
Ada pernyataan dari Syaikh Abdullah yang beliau
simpulkan dari fatwa gurunya yaitu Syaikh Ubaid Al Jabiri, “Sepatutnya
disadari, siapa saja yang membantu orang lain dengan utang, dia harus siap
menghadapi, dengan menerima resiko termasuk resiko inflasi”
Menit 01:36:55
Memberi hutang kepada orang lain termasuk
bentuk membantu sesama muslim, dan kata Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam,
”Allah akan membantu hamba-Nya selama hamba itu mau membantu saudaranya.”
Dan utang termasuk salah satu membantu saudara
sesama muslim.
Menit 01:37:57
KAIDAH BERIKUTNYA (Ke 5)
TENTANG HUTANG UANG
BAYAR EMAS
Kaidah seperti ini diperbolehkan atau tidak?
Jawabnya diperbolehkan.
Contoh: Tahun 2000 ia hutang uang 100 juta
(kalau beli emas anggap saja bisa beli 100 g), kemudian di tahun sekarang 2015
hutang itu ingin dilunasi. dia tidak ingin dibayar uang, maka ia minta dibayar
dengan 100 g emas. Boleh atau tidak?
Jawabannya boleh ia bayar pakai emas tapi emas
harga sekarang, bukan emas di masa silam.
Tahun 2000, 100 juta dapat 100 g emas, sekarang
tahun 2015 dari 100 juta dapat 50 g emas, jadi pelunasannya dengan 50 g emas.
Sehingga aslinya tidak ada selisih antara yang
dibayarkan dan yang diterima.
Bagaimana dengan fatwa Abu Said sebelumnya?
Fatwa itu terjadi kalau ada selisih harga yang
sangat jauh. Kalau masih bisa ditoleransi, maka fatwa itu tidak di pakai karena
pada asalnya hutang emas bayar emas, hutang uang bayar uang. agar tidak terjadi
sengketa.
Sama dengan orang hutang genteng, maka bayar
genteng, hutang akik dengan akik, dsb.
Tapi kalau hutang uang, ia bayarnya ingin pakai
emas, maka yang di pakai adalah nilai/harga emas di masa sekarang bukan di masa
silam.
Menit 01:41:30
Contoh lain:
Tahun 2000 ada seorang TKI (Tenaga Kerja
Indonesia) hutang ke sesama TKI lainnya sebesar 100 real, Pada tahun 2015 ia
mau melunasinya pakai rupiah. Apa kah itu diperbolehkan? Bagaimana konversinya?
nilai real masa sekarang atau real masa silam?
Jawabannya: Boleh saja ia melunasi pakai rupiah
tapi dengan harga real sekarang. Sehingga boleh jadi nilai yang dibayarkan
lebih besar untuk nilai rupiahnya.
Dia tidak boleh pakai real masa silam, nanti
jadinya riba.
Menit 01:42:55
Contoh yang lainnya:
Misal hutang dolar bayar rupiah atau hutang
rupiah bayar dolar.
Dulu di Indonesia hutang rupiah, kemudian
mereka berangkat bareng ke Amerika terus minta di lunasi pakai dolar.
jawabannya boleh pakai dolar tapi dengan harga
waktu pelunasan bukan dengan harga waktu hutang.
Kecuali kalau terjadi selisih harga yang sangat
jauh. Maka yang digunakan adalah fatwa dari Abu Said sebelumnya.
Menit 01:43:28
Fatwa ini seperti contoh Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, beliau melakukan jual beli onta, majang harga pakai dinar, tetapi
dibayar pakai dirham. Kadang dipajang pakai harga dirham, di bayar pakai dinar.
dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya demikian, beliau
mengatakan, “Boleh saja kamu mengambil dengan harga dari pembayaran selama
kalian tidak berbisa sementara masih ada jual beli yang belum selesai”.
Menit 01:44:37
KAIDAH YANG KE ENAM
DILARANG HUTANG
BERSYARAT
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak halal menggabungkan hutang dengan jual beli”.
Ishaq bin Mansyur pernah bertanya kepada Imam
Ahmad tentang larangan menggabungkan hutang dengan jual beli.
Jawab Imam Ahmad, “Si A menghutangi si B
kemudian mereka saling jual beli sebagai syarat tambahan untuk hutang”.
Misal:
- Saya mau hutangi anda tapi dengan syarat kamu
membeli ke saya.
- Saya mau menghutangi anda dengan syarat
barang anda saya beli.
Yang semacam itu di larang.
Menit 01:45:50
Dalam keterangan yang lain dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang
siapa yang menjual dua harga dalam satu transaksi maka dia mendapatkan yang
termurah atau riba”.
Ada dua makna untuk hadis ini:
Ambil makna yang kedua dulu: “Aku jual kuda ku,
dengan syarat kamu harus jual kudamu”. Maka disitu ada 2 transaksi yang
digabung bersamaan. Bisa hutang bersyarat, atau sama-sama jual beli.
Itu dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Banyak kita jumpai praktek semacam ini. Ada
orang yang mau hutangi orang lain dengan syarat semua hasil panennya dijual ke
saya.
Meskipun pakai harga pasar, tetap tidak
diperbolehkan.
Mengapa? karena disitu hutangnya ada syarat.
Syarat tersebut adalah riba, karena ada manfaat yang kembali kepadanya.
Boleh saja si pemberi hutang membeli panen
tersebut tapi ini di luar syarat hutang piutang.
Menit 01:48:25
Sebetulnya hadist Abu Hurairah tersebut kurang
tepat penempatannya, harusnya untuk kaidah berikutnya tentang jual beli dengan
dua harga.
KAIDAH BERIKUTNYA
TENTANG JUAL BELI DUA
HARGA
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barang siapa yang menjual dua harga
dalam satu transaksi maka dia mendapatkan yang termurah atau riba”.
Menit 01:48:47
Kasusnya seperti ini:
Ini Hp saya jual kalau cash 1 juta, kalau
kredit 1 bulan 1,5 juta. Kemudian dia terima dengan kredit 1 bulan dengan harga
1,5 juta, Kemudian penjual ngasih janji. “Kalau kamu bisa lunas dalam waktu
seminggu, saya potong jadi 1 juta 300 ribu”. Jadi disitu ada selisih 200 ribu.
Ketika transaksi selesai maka disitu ada dua
kemungkinan antara 1,3 juta jika dia mampu melunasi selama 1 minggu atau 1,5
juta ketika dia tepat waktu sampai 1 bulan.
Jika ini terjadi, maka terjadilah yang kata
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjual dua harga dalam 1 jual beli.
Terus mana harga yang dipilih?
Kata Nabi pilih yang termurah. Sehingga disitu
penjual hanya boleh mengambil 1,3 juta. Ditetapkan 1 harga tapi yang paling
murah.
Menit 01:50:08
Banyak kasus untuk KPR (KPR biasanya 15 tahun).
Jadi kalau misa lunasi 10 tahun, nanti ada
potongan 12% sehingga pada saat deal/selesai transaksi, rumah ini punya
dua harga. Yaitu harga 100% harga 15 tahun atau 88% harga 10 tahun.
Panduan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
“ambil yang termurah atau nggak kena riba”, sehingga gembling seperti ini tidak
ada. Karena tidak ada jaminan kita bisa melunasi selama 10 tahun. Kecuali kalau
dengan tegas menyatakan “saya ambil 10 tahun, tidak bakalan sampe 15
tahun”. Kemudian dapat potongan harga 12%, nah itu boleh.
Tapi kalau ada penawaran kalau 15 tahun bayar
100%, kalau bisa lunas 10 tahun dapat potongan 12%, SELESAI SAMPAI DISITU, maka
kalau sampai tidak jelas ini termasuk riba, kalau kemudian dipaksa untuk
memilih mana harga yang didapatkan, maka Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengatakan ambil yang paling murah.
Menit 01:51:35
Beberapa kasus lain: Mengenai Gadai sawah
dimana hutang dengan jaminan sawah dengan sarat kreditur boleh memanfaatkan
sawah selama belum lunas. à Termasuk hutang bersyarat maka
hukumnya riba.
Menit 01:52:05
KAIDAH YANG KE TUJUH
RIBA ITU DILARANG
KARENA RIBA ITU HAK ALLAH
Sebagaimana kita dilarang untuk jual beli pada
saat adzan jum’at, ketika khatib sudah naik mimbar.
Adakah unsur kedzaliman disitu?
Hal tersebut dilarang oleh Allah Subhanahu wa
ta'ala bukan karena mengandung kedzaliman kepada salah satu pihak tapi disitu
bisa melalaikan orang untuk jum’atan.
Kemudian ada jual beli yang dilarang oleh allah
karena kembali kepada hak makhluk, contohnya jual beli gharar (jual beli barang
yang tidak jelas), jual beli penipuan, jual beli Najasy (berpura-pura nawar
padahal aslinya tidak ingin beli sehingga harganya jadi semakin melambung).
Semua itu dilarang dalam rangka menjaga hak makhluk.
Menurut mazhab Syafi’i transaksi tersebut sah
atas kerelaan pihak yang didzalimi.
Kalau jual beli yang dilarang karena hak Allah,
tidak sah dari awal baik mereka saling ridha ataupun tidak ridha. Kalau untuk
jual beli yang dilarang karena hak makhluk, transaksinya sah jika yang
didzalimi ridho.
Dalil tentang ini adalah kasus jual beli
Musharrah. Jual beli musharrah itu seperti jual sapi gelonggong.
Menit 01:54:30
Di masa silam, masyarakat jahiliyah ketika mau
menjual kambing perah atau onta perah, dia biarkan kambingnya ini tidak
diperah-perah selama beberapa hari, sehingga kelihatan susunya banyak. Pada
saat dijual terlihat mahal.
Ketika sudah diperah 2-3 hari, dan ternyata
kondisi aslinya seperti itu, tidak sebesar pas dibeli. Maka disini ada unsur
penipuan.
Kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, si
pembeli punya hak khiar (hak pilih), yang pertama dia tidak kembalikan / dia
relakan, atau yang ke dia kembalikan dengan ditambah 1 gantang kurma sebagai
ganti susu yang sudah diperah.
Menit 01:56:20
“Larangan hak makhluk
didahulukan dalam Islam”
Ketika Islam datang, dzalim itu sudah dilarang
dari awal. Tidak ada tindak kedzaliman yang ditunda larangannya ketika Islam
datang.
Tapi berbeda dengan larangan terkait hak Allah,
Baik terkait muamalah ataupun dalam makanan.
Seperti larangan jual beli khamar dan larangan
riba.
Menit 01:57:10
Salah satu cara mengetahui ini larangan terkait
hak Allah atau hak makhluk adalah dengan melihat bagaimana sejarah Allah
melarangnya.
Kalau itu ada penundaan, berarti terkait hak
Allah. Contohnya zina, minum khamar, transaksi riba,
Kalau tidak ada penundaan, berarti terkait hak
makhluk. Contohnya menipu, dzalim.
Menit 01:57:57
Karena itu ini terkait keabsahan transaksi riba di kaidah yang ke 8
bahwa :
“Larangan sesuatu jika terkait hak Allah maka itu membatalkan apa yang
dilarang, dan jika terkait hak makhluk maka tidak membatalkan transaksi yang
dilarang.”
Riba terkait hak Allah atau makhluk? Jawabannya adalah terkait hak Allah
maka dia dilarang dari awal sehingga transaksinya batal dari awal.
Pahami suatu riwayat berikut ini:
Ada salah satu sahabat yang ingin menyuguhkan kepada rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam kurma yang kualitas bagus. Kemudian ia menukar 2 gantang
kurma madinah dengan 1 gantang kurma jenis lain yang lebih bagus untuk
disuguhkan kepada Rasul. Ketika rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan
laporan ini, beliau mengatakan, “Ini riba, transaksi mu batal karena itu
kembalikan / nggak boleh dimiliki. Kamu boleh membawakan kurma yang bagus untuk
kami caranya begini , kurma yang tidak bagus ini jual dulu kemudian uang hasil
penjualan dibelikan kurma yang bagus.”
Masih banyak kaidah riba yang lain untuk riba jenis kedua yaitu riba
Nasi’ah terutama riba jual beli yang belum disampaikan disini. Selanjutnya sesi
tanya jawab.
Menit 02:01:40
Tolong jelaskan hukum riba yang ada pada Al-quran surat Al-Baqarah ayat
205 yang mana orang makan riba terus menerus kekal di neraka. !
Menit 02:06:32
Bagaimana hukum KPR di salah satu Bank Syariah yang mengalihkan kelebihan
hutang kepada akad sewa selama hutang belum lunas?
Jawaban ringkasnya: Kata rasul “Tidak boleh ada jual beli digabung
dengan hutang”. Tadi sudah diberi contoh yang menghutangi tapi ada syarat
barangnya dibeli atau dijual itu tidak boleh. Jadi kalau ada akad hutang tapi
dengan syarat sewa, boleh tidak? Sama saja. Karena untuk hadist “Tidak boleh
ada jual beli digabung dengan hutang” kata para ulama: berlaku untuk semua
hutang digabung dengan transaksi komersial, apapun bentuknya.
Menit 2:07:57
Dalam jual beli kredit haruskah ditentukan batasan waktu pelunasan?
Jawaban singkatnya: harus ditentukan.
Bagaimana kalau setelah waktu yang telah ditentukan, pembeli belum
melunasi apakah harus dibatalkan?
Menit 02:15:37
Bagaimana hukumnya mengambil kulit hewan yang tidak disembelih atau
bangkai untuk diolah (menyamak) sebagai bahan jaket, tas, sepatu, dll. Dan bolehkah
menggunakan atau menjualnya?
Jawaban singkatnya boleh.
Menit 02:16:55
Kenapa KPR termasuk dalam kondisi riba?
02:21:47 Alhamdulillah selesai.
Simak kajian lengkapnya di :
Post a Comment